Jumat, 27 Februari 2009

Prasangka Terhadap Jilbab "Belenggu Syari'at Islam".

"Merujuk pada konvensi antidiskriminasi, aturan ketenagakerjaan tidak boleh mengandung diskriminasi. Tidak boleh ada klausul apa pun dalam kontrak kerja yang mengandung diskriminasi, baik eksplisit maupun implisit."

Hilman Rosyad Syihab Wakil ketua Komisi XIII DPR Bidang Agama, Sosial, dan Pemberdayaan Perempuan

Berita larangan penggunaan jilbab di beberapa negara Eropa adalah hal biasa. Namun, kalau itu terjadi di Indonesia yang penduduknya mayoritas Muslim, hal itu menjadi sangat luar biasa.

Adalah Wine Dwi Mandela, karyawati RS Mitra Keluarga Bekasi, yang berani menggugat perusahaannya karena dilarang menggunakan jilbab ketika bekerja. Kasus ini kemudian mendapatkan tanggapan dari banyak kalangan. Untungnya, kasus ini kemudian mereda ketika perusahaan tempat Wine bekerja mengabulkan tuntutan Wine.

Ternyata, tak hanya Wine yang mengalami kejadian ini. Pekan lalu, enam karyawati di bagian laboratorium Rumah Sakit Mitra Internasional Jatinegara dijatuhi Surat Teguran oleh pihak SDM rumah sakit karena mengenakan jilbab saat bekerja. Pada Jumat (22/11), tiba-tiba Surat Teguran tersebut berubah menjadi Surat Peringatan I. Padahal, berdasarkan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) periode 2008- 2010, tenggat waktu minimal perubahan status Surat Teguran menjadi Surat Peringatan I ialah empat bulan. Dalam masa tenggat tersebut, karyawan yang dianggap melanggar aturan diberi waktu untuk melakukan perubahan. Status surat sanksi ini akan terus meningkat jika mereka tetap melanggar: memakai jilbab.

Larangan implisit pemakaian jilbab membuat rata-rata karyawan hanya memakai jilbab saat berangkat dan pulang kerja. Sementara itu, di gerbang masuk RS, biasanya mereka langsung melepas jilbab karena ada aturan yang mengharuskan karyawan mengisi absensi tanpa mengenakan jilbab.

Tersulut oleh perjuangan Wine, karyawati-karyawati Muslim RSMI kembali berdiskusi soal jilbab. Baik rekan yang sudah mengenakan jilbab maupun yang belum sepenuhnya mengenakan jilbab, mulai memberanikan diri memakai jilbab selama bekerja.

Manajer SDM RSMI, Warno Hidayat, dan Deputi CEO RSMI, dr Handayani, menegaskan bahwa pihak RSMI apresiatif pada tuntutan karyawan. Namun, sebagai rumah sakit yang mengutamakan patient safety, kata mereka, RSMI perlu menyesuaikan perubahan seragam kerja karyawan ini berdasar International Infection Control Standard. Pihak RSMI sendiri baru akan membahas keterkaitan unsur-unsur pakaian berjilbab dengan peningkatan potensi infeksi di lingkungan rumah sakit.

Singkat kata, RSMI menyatakan akan melakukan uji coba pemakaian jilbab per 1 Januari 2009. Namun, Yani menegaskan, peraturan resmi pembolehan pemakaian jilbab tetap sesuai keputusan pimpinan RSMI pada 1 Juli 2009. Selama masa transisi, RSMI akan tetap beracuan pada PKB. Secara diplomatis, Yani menyampaikan agar segenap pihak mematuhi dahulu aturan yang ada.

RSMI Jatinegara, Jakarta Timur, merupakan satu dari tiga rumah sakit di Indonesia yang berada di bawah bendera Ramsay Healthcare Group. Dua cabang lainnya terletak di kawasan Bintaro, Jakarta Selatan, dan Surabaya, Jawa Timur. Warno menginformasikan bahwa pembahasan peraturan jilbab karyawati akan dibahas dan berlaku di ketiga cabang RSMI di Indonesia. Meski sama-sama memakai kata 'mitra', RSMI tidak memiliki kaitan kelembagaan dengan Rumah Sakit Mitra Keluarga Bekasi (RSMKB).

Kisah karyawati RSMI adalah ulangan dari kisah-kisah lama tentang jilbab dan sejumlah prasangka. Virusvirus akal budi tentang jilbab banyak dipengaruhi ketidakmulusan proses bangsa ini untuk mendewasakan diri. Pada Februari 2007 lalu misalnya, terekam juga cerita pelarangan jilbab di Rumah Sakit Kebon Jati, Bandung. Di luar sana, pelarangan jilbab telah menekan hak Muslimah di Prancis dan Turki. Kisah tersebut sarat prasangka terhadap jilbab di negeri sendiri yang timbul-tenggelam tanpa akhir yang jelas.

Dita Indah Sari, aktivis buruh yang kini aktif di Partai Bintang Reformasi, mengingatkan, kebebasan untuk menjalankan ibadah harus tetap dihargai. ''Di Indonesia, agama apa pun harus diberi kesempatan ibadah,'' katanya. Dita menguatkannya dengan contoh adanya alokasi waktu shalat Jumat. Dita melanjutkan, hal tersebut berlaku pula dalam hal pakaian. Semua pihak perlu memberikan penghormatan atas pilihan-pilihan individu.

Memang, kata Dita, pekerjaan-pekerjaan tertentu membutuhkan spesifikasi pakaian khusus karena alasan keselamatan. Kedua belah pihak, pekerja, dan pengusaha dapat melakukan kompromi dalam hal ini. Dita tak memungkiri, dalam beberapa jenis pekerjaan, jilbab yang lebar dapat membahayakan keselamatan. ''Di pabrik kertas misalnya. Yang pisau mesinnya tajam-tajam,'' imbuhnya.

Solusi dari hal tersebut, menurut Dita, bukanlah dengan langkah pemecatan. Dita mengusulkan pemindahan bagian. Sebagai orang yang lama berkecimpung di area advokasi tenaga kerja, Dita memerinci, untuk alasan nonkesalahan, pemindahan karyawan ke bagian lain tidak boleh memengaruhi jabatan, upah, dan haknya. Artinya, karyawan tidak boleh dipindahkan ke posisi yang lebih rendah, diturunkan upahnya, atau dikurangi haknya.

Sementara itu, Hilman Rosyad Syihab, wakil ketua Komisi XIII DPR Bidang Agama, Sosial, dan Pemberdayaan Perempuan, menjelaskan bahwa UUD 1945 menjamin kebebasan beragama. Konsekuensi pasal tersebut, menurut Hilman, adalah kebebasan melaksanakan tuntunan agama. Dalam bingkai bernegara, kata Hilman lagi, seluruh warga berhak melaksanakan ajaran agamanya selama tidak mengganggu hak-hak sesama warga negara.

Hilman berpendapat bahwa jilbab merupakan persoalan Hak Asasi Manusia yang termaktub dalam Pasal 29 UUD 1945. Menurut Hilman, merujuk pada konvensi antidiskriminasi, aturan ketenagakerjaan tidak boleh mengandung diskriminasi. ''Tidak boleh ada klausul apa pun dalam kontrak kerja yang mengandung diskriminasi, baik eksplisit maupun implisit,'' paparnya.

Ia berpendapat, larangan jilbab adalah bentuk diskriminasi juga terhadap perempuan. Ia meyakini, jilbab tidak mengganggu aktivitas seseorang. Dari aspek Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA), tindakan pelarangan jilbab, menurutnya, akan menyulut konflik. Lebih lanjut, ia menganalisis hal ini dapat berpotensi mengancam kebhinekaan yang telah menjadi bagian realitas keseharian.

Hilman menerangkan, jilbab tidak identik dengan keshalihan. Pada dasarnya, jilbab merupakan pakaian yang baik. Ia mengemukakan tafsir Alquran surah Al Ahzab ayat 59. Jilbab merupakan bagian dari identitas Muslimah. Beberapa tafsir lain, kata Hilman, menuliskan bahwa jilbab diwajibkan atas Muslimah agar mereka dikenal sebagai perempuan baik-baik. Jilbab dimaksudkan melindungi perempuan dari pelecehan seksual.

''Tidak ada dalam Alquran dikatakan bahwa jilbab harus dipakai, misalnya, agar tenang hatinya,'' kata Hilman memberi gambaran. Simpulannya, menurut Hilman, jilbab merupakan bentuk perlindungan Islam terhadap perempuan agar diri mereka terpelihara. Adalah tidak tepat, menurut Hilman, jika jilbab diidentikkan dengan militansi dan fanatisme. Anggapan jilbab mengalienasi perempuan juga tidak benar.

Anggota DPR dari Fraksi PKS ini tak menampik pendapat jilbab lahir dari budaya. Meninjau konteks sejarah, dahulu Islam hadir di tengah peradaban bangsa Arab. Meski demikian, Islam datang tak lantas memberangus setiap inci budaya Arab. Budaya Arab yang baik tetap dilestarikan oleh ajaran Islam dan disempurnakan.

Hilman menceritakan bahwa sejak dahulu bangsa Arab menganggap perempuan sebagai makhluk yang perlu dilindungi. Alih-alih perlu dilindungi, bangsa Arab menganggap perempuan sebagai beban, terlebih mengingat hobi mereka saat itu adalah berperang. Keberadaan perempuan akan menyulitkan mereka.

Maka, lanjut Hilman, muncullah pemikiran untuk melenyapkan anak perempuan. Karena tak tega menghabisi nyawa perempuan dengan cara membunuh, bangsa Arab ketika itu memilih cara mengubur hidup-hidup setiap bayi perempuan yang lahir.Islam kemudian hadir memurnikan bentuk perlindungan terhadap perempuan. Salah satunya dengan jilbab.


Jejak Rekam Pelarangan Jilbab di Indonesia

1. Pelarangan jilbab di RS Kebon Jati, Bandung, pada Februari 2007.
2. Larangan pemakaian jilbab di PT Sanyo Indonesia pada 1995.
3. Larangan penggunaan jilbab dalam seleksi anggota Paskibraka di Kediri, Jawa Timur, pada April 2007. Para peserta diminta melepas jilbab dan mengenakan rok span pendek, seperti lazimnya dress code peserta paskibraka. Larangan ini menuai respons Nahdlatul Ulama Jawa Timur.
4. Di masa Orde Baru, sejak 1980- an, pelarangan jilbab marak terjadi di sekolah-sekolah menengah pertama negeri di Indonesia.
5. Pada 1979, pihak Sekolah Pendidikan
Guru Negeri Bandung berencana
memisahkan para siswi yang
berjilbab dalam kelas tersendiri.
6. Awal 1980-an, pelarangan jilbab sempat terjadi di SMAN 3 Bandung,
SMAN 4 Bandung, dan SMAN 8 Jakarta. Hal ini karena diperkuat turunnya
SK 052 dari Departemen P&K. Pada 17 Maret 1982, Departemen P&K mengeluarkan Surat Keputusan (SK) 052/C/Kep/D/82. SK tersebut mengatur bentuk dan penggunaan seragam sekolah di sekolah-sekolah negeri. berbagai sumber/c87

Karena itu semua, menyebabkan Negara Indonesia ini tidak mendapatkan Berkah dari Allah SWt. saat Syari'at Islam dibelenggu, di Curigai, diFitnah dan disalah artikan, maka Demokrasi di NKRI ini hanya sebatas bahwa Demokrasi adalah "Yang terbanyaklah yang menang". artinya, walaupun yang salah yang terbanyak maka itu harus/mau tak mau diterima. bukan yang benar yang harus diterima dan dijalankan...

Semoga Masyarakat Indonesia, dibukakan hatinya, untuk mau dan siap menerima dan menjalankan Syari'at Islam bagi Rakyat Indonesia yang mengaku dirinya seorang Muslim...

Tidak ada komentar: